Peperangan antara tentara kerajaan Pajang dan tentara Mataram tak dapat
dihindarkan. Sultan Adiwijaya dan Panembahan Senopati berdiri
berseberangan sebagai lawan, berada di belakang tentaranya masing-masing
dengan membawa tanda-tanda kebesarannya sendiri-sendiri. Sultan
Adiwijaya duduk di atas seekor gajah tanda kebesaran Pajang, mengenakan
keris Kyai Sengkelat di belakang pinggangnya. Panembahan Senopati duduk
di atas pelana kuda putih kesayangannya dan memegang tombak Kyai Plered
di tangan kanannya, mustika wesi kuning di sakunya, berbagai jimat
rajahan di balik bajunya dan pusaka Bende Mataram di tangan pengawalnya
di sebelah kirinya.
Tetapi tentara Pajang masih lebih tangguh dan lebih terlatih daripada
tentara Mataram. Sepanjang pertempuran pasukan Mataram selalu terdesak
dan korban berjatuhan. Bala bantuan prajurit dan orang-orang sakti dari
sekutu Mataram terus berdatangan, tetapi tetap saja mereka selalu
terdesak dan korban terus berjatuhan, bahkan sekalipun Bende Mataram
sudah sering dibunyikan (Bende Mataram adalah pusaka Mataram yang
kegaibannya berguna untuk menaikkan moral dan semangat tempur pasukan
dan sekaligus melemahkan semangat dan konsentrasi lawan).
Setiap bende tersebut dibunyikan, semangat tempur pasukan Mataram
bangkit lagi dan mendesak pasukan Pajang yang menurun konsentrasinya.
Tetapi setelah itu pula kekuatan batin Sultan Adiwijaya
dikonsentrasikan, menetralisir pengaruh gaib pusaka Bende Mataram.
Dengan demikian pengaruh gaib Bende Mataram hampir tak berarti dan
pasukan Pajang yang memang lebih tangguh dapat selalu menekan pasukan
Mataram sehingga korban terus berjatuhan di pihak Mataram.
Kalau hanya menghadapi Panembahan Senopati dan pasukannya beserta
gabungan pasukan dari kadipaten / kabupaten yang bersatu di bawah
Mataram dan orang-orang sakti mereka di pihak Panembahan Senopati,
sebenarnya bila dikehendakinya, Sultan Adiwijaya tidak memerlukan
tentara untuk menghadapinya. Sekalipun dirinya sudah tua, tetapi
tenaganya dan kesaktiannya, ditambah dengan kesaktian pusakanya, masih
cukup mumpuni untuk sendirian menumpas mereka semua.
Apalagi ilmunya Lembu Sekilan sudah matang sempurna dalam dirinya,
menjadikannya tak dapat dikenai pukulan dan serangan berbagai macam
pusaka dan senjata tajam.
Tetapi Sultan Adiwijaya sengaja datang untuk menunjukkan kebesarannya.
Ia datang sebagai seorang raja dengan tentaranya dan menunggangi seekor
gajah tanda kebesaran kerajaan Pajang. Ia sengaja tidak turun dari
tunggangannya, tidak turun ke gelanggang perang, hanya memperhatikan
saja dari jauh. Ia menunggu sampai Panembahan Senopati, anak angkatnya,
datang sendiri kepadanya.
Ia ingin mendengar langsung dari mulut Panembahan Senopati, mengapa ia
berani kurang ajar kepadanya, ayahnya, dan berani berhadapan perang
melawannya, rajanya.
Sultan Adiwijaya tetap menganggap Panembahan Senopati adalah anak
angkatnya, yang sudah dianggapnya sama dengan anaknya sendiri, yang
bahkan anak-anaknya pun memandang saudara kepada Panembahan Senopati.
Dan di matanya, tidak sepantasnya seorang anak kurang ajar kepada
ayahnya, apalagi melawannya. Ia tidak ingin menurunkan tangan besi
kepada anaknya itu bila sang anak mau meminta maaf kepadanya. Sekalipun
Panembahan Senopati diberinya kekuasaan di tempat yang sekarang disebut
Mataram, sebagai warisan dari ayah tirinya Ki Pamanahan, tetap saja
Mataram adalah bawahan Pajang dan harus tunduk kepada Pajang. Dan semua
tentara yang dibawanya untuk mengalahkan tentara Mataram, hanyalah
sebagai pelajaran saja supaya Mataram tidak menentang kebesaran Pajang.
Peperangan terlihat berat sebelah.
Tentara Mataram, walaupun dibantu oleh orang-orang sakti dan tentara
kiriman kadipaten dan kabupaten yang bersekutu dengannya, memang belum
sekelas dan tidak dapat disejajarkan dengan tentara kerajaan Pajang.
Apalagi ketentaraan kerajaan Pajang sekarang sudah jauh lebih kuat
daripada kerajaan Demak dulu. Korban terus berjatuhan di pihak Mataram.
Tinggal menunggu waktu saja sampai semua tentara Mataram menyerah atau
mati.
Tetapi tiba-tiba suatu fenomena gaib meliputi Sultan Adiwijaya. Para
leluhurnya, mantan raja-raja penguasa Singasari dan Majapahit datang
berkumpul di sekitarnya. Sri Rajasa Kertanegara, Raden Wijaya beserta
istri-istrinya, Ratu Tribhuana Tunggadewi dan adik-adiknya,
pembesar-pembesar dan para bangsawan yang setia kepada Singasari dan
Majapahit, bersama-sama datang kepadanya. Ibu Kanjeng Ratu Kidul,
istrinya, di sebelah kirinya. Anak mereka Raden Rangga duduk di
belakangnya.
Berbagai macam sasmita gaib masuk ke kepalanya.
Ibu Ratu Tribhuana Tunggadewi lembut berkata kepadanya :
" Tidak usah dilanjutkan ambisimu menjadi penguasa tanah Jawa. Sudah
cukup kiranya kamu menjadi penerus kami, menjadi pamungkas raja-raja
Singasari dan Majapahit. Mulai hari ini juga wahyu raja yang ada padamu
sudah akan pergi, kembali kepada yang memberi wahyu.
Biarkan saja Mataram dengan Panembahan Senopatinya. Ia bukanlah
penerusmu ataupun penggantimu. Kerajaannya hanyalah transisi sebelum
tanah Jawa masuk ke dalam jaman yang baru. Jaman yang penuh dengan
kesusahan dan penderitaan.
Tanah Jawa akan masuk ke dalam jaman baru. Jaman yang penuh dengan
kesusahan dan penderitaan. Dan tidak ada satupun raja Jawa sesudah kamu
yang akan dapat melindungi tanah Jawa dan rakyatnya pada jaman itu.
Penguasa tanah Jawa yang sesungguhnya akan datang dari seberang.
Kejayaan tanah Jawa sudah berakhir. Tidak akan ada lagi panji-panji yang
akan dikibarkan, karena tanah Jawa akan menjadi jajahan orang-orang
seberang. Kebesaran tanah Jawa akan menjadi pampasan perang.
Tak ada lagi yang akan tersisa. Kebesaran tanah Jawa sudah habis. Bahkan
kebanggaan sebagai orang tanah Jawa pun tidak akan lagi ada.
Tetapi akan ada masanya nanti tanah Jawa akan bangkit kembali.
Batas-batas Singasari - Majapahit akan dipulihkan lagi. Dipimpin oleh
raja-raja keturunan kami.
Tapi mereka bukanlah raja-raja yang utama. Mereka hanyalah pembuka jalan
saja bagi raja yang sesungguhnya, raja besar yang akan menerima semua
restu dari para leluhur raja-raja pendahulunya, Singasari - Majapahit di
timur dan tengah dan Galuh di barat.
Ia raja manusia. Ia juga raja kami dan semua mahluk halus. Pusaka-pusaka
tanah Jawa dan pusaka-pusaka dewa akan diwariskan kepadanya.
Wahyu-wahyu raja akan tumpuk padanya. Dewa-dewa pun menyertainya.
Ia akan datang sesudah bumi porak-poranda. Itulah tanda kebesarannya. Ia
tidak butuh tentara. Ia sendiri bisa memporak-porandakan dunia.
Kami sedih menyampaikan ini kepadamu. Kami tahu kamu sangat menghormati
kami leluhurmu dan ingin kejayaan Majapahit kembali berkibar.
Tetapi sudah tiba waktunya bahwa tanah Jawa akan menerima karma,
hukuman, karena keburukan perbuatan mereka sendiri. Tetapi pada waktunya
nanti kamu juga akan berbangga. Karena dia, raja yang akan datang itu,
juga adalah bagian dari kita. Keluarga kita ".
Sultan Adiwijaya tidak lagi berkonsentrasi pada perang yang sedang
berlangsung. Para prajurit dan senopatinya harus bekerja keras, karena
tidak lagi mendapatkan arahan langsung dari rajanya. Bahkan dorongan
moril pun tidak ada lagi.
Tiba-tiba gajah tunggangan Sultan Adiwijaya berputar berbalik arah.
Berjalan kembali pulang ke Pajang. Para pengawal dan senopatinya bingung
bukan kepalang. Segera semua prajuritnya diperintahkan mundur,
mengikuti dan mengawal raja mereka kembali ke Pajang.
Sepanjang jalan ke Pajang Sultan Adiwijaya tidak sadarkan diri.
Tatapannya kosong dan tidak tanggap atas sapaan para bawahannya yang
terus berusaha menyadarkannya.
Fenomena gaib masih terus menyelimutinya. Sultan Adiwijaya yang memang
juga menguasai berbagai ilmu kebatinan dan kegaiban sukmanya semakin
jauh dan dalam masuk ke alam gaib.
Sesampainya di Pajang, kondisi sang Sultan tidak juga membaik. Hanya
beberapa kali sang Sultan sempat sadar, tetapi kemudian kembali lagi tak
sadarkan diri. Panembahan Senopati yang dikabari tentang kondisi ayah
angkatnya itu juga datang untuk menjenguknya, tetapi tidak masuk
menemuinya, dan selama ia berada di Pajang, ayah angkatnya itu tetap
tidak sadarkan diri.
Ketika suatu saat Sultan Adiwijaya sadar dan dapat berkomunikasi, beliau
menyampaikan pesan terakhirnya kepada anak-anaknya. Diharapkannya
supaya anak-anaknya tidak memperebutkan kekuasaan. Juga jangan ada
pertentangan antara Pajang dengan Mataram. Biarlah Pajang dan Mataram
hidup sendiri-sendiri. Mereka juga harus hidup rukun satu dengan
lainnya.
Beberapa hari kemudian Sultan Adiwijaya wafat, kembali kepada para
leluhurnya. Tetapi sejak itu juga pusaka kesayangannya keris Kyai
Sengkelat juga menghilang dari kehidupan manusia. Moksa. Masuk ke alam
gaib bersama dengan fisik kerisnya. Yang masih ada hanyalah keris-keris
sengkelat tiruan atau turunannya saja.