Raden Patah adalah cucu dari raja terakhir Majapahit, Prabu Brawijaya.
Atas bujukan para Wali, Raden Patah membentuk kekuasaan sendiri,
kerajaan sendiri, kerajaan Demak, melepaskan diri dari kekuasaan
kerajaan Majapahit. Dilakukannya secara diam-diam dan perlahan-lahan
dengan menundukkan kadipaten / kabupaten di sekitarnya yang lebih lemah
dan menyebarkan pengaruh kekuasaan para Wali dalam agama Islam.
Sekalipun sudah mengetahui gelagat perilaku cucunya itu dari laporan
para telik sandi, tetapi Prabu Brawijaya tidak mau memerangi Raden Patah
cucunya, sekalipun sudah mbalelo, membangun kekuatan dan kekuasaan
sendiri di dalam wilayah kerajaan Majapahit.
Sekalipun kerajaan Majapahit sudah dalam kondisi rapuh karena di dalamnya banyak terjadi perselisihan dan perebutan kekuasaan antar anggota keluarga kerajaan, tetap saja kekuatan tentara Majapahit masih terlalu kuat untuk dilawan oleh sebuah kerajaan kecil baru seperti Demak. Karena itu, dengan dukungan para Wali, Raden Patah berusaha menundukkan Prabu Brawijaya tidak dengan kekuatan tentara, tetapi dengan pendekatan agama, memaksakan agama Islam kepadanya. Sampai akhirnya, karena tidak mau memerangi cucunya sendiri, tidak mau memerangi rakyatnya sendiri para santri agama yang dijadikan ujung tombak pasukan Demak dan para Wali dan siap mati untuk mereka, kearifannya membuat Prabu Brawijaya memilih menyingkir, lengser dari keprabuannya, keluar dari istana untuk menepi dan mandito.
Sepeninggalnya itu maka resmi sejak itu berakhirlah jaman kejayaan kerajaan Majapahit. Gunung Lawu, yang rencananya akan menjadi tempat Prabu Brawijaya menepi, mandito, di kaki gunung dan bagian lerengnya dikepung oleh laskar santri dan pasukan Demak. Sekalipun Prabu Brawijaya sudah lengser dari tahtanya, sudah meninggalkan kekuasaan, sudah keluar dari istana untuk mandito, dan sudah juga mengucapkan syahadat agama Islam sesuai kemauan Raden Patah melalui duta utusannya Sunan Kalijaga, tetapi karena pengaruh para Wali, Raden Patah terus memburu Prabu Brawijaya. Yang diinginkannya adalah penyerahan total Prabu Brawijaya beserta para bawahan dan semua pengikutnya. Prabu Brawijaya mengerti maksud dari Raden Patah, yaitu supaya semua bawahannya pun menyerahkan diri dan tunduk setia kepada kerajaan Demak agar tidak menjadi bahaya bagi Demak dikemudian hari. Tetapi ia pun menyadari bahwa banyak bawahan dan pengikut yang setia kepadanya itu adalah juga orang-orang keturunan Majapahit, yang juga memiliki hak yang sama atas tahta seperti Raden Patah. Karena itu demi berlaku arif dan adil Prabu Brawijaya tidak mau memaksa para bawahan dan pengikutnya menyerahkan diri mereka kepada Demak.
Prabu Brawijaya tidak mengabulkan keinginan Raden Patah itu dengan alasan ia sudah melepaskan kekuasaan, tidak mempunyai kewenangan lagi sebagai seorang raja untuk memerintahkan para bawahan dan pengikutnya untuk tunduk kepada Demak. Terserah kepada raja yang baru apakah mampu menundukkan mereka atau tidak. Para Wali, selain Sunan Kalijaga, adalah pendatang dari kerajaan Persia (Irak). Syech Siti Jenar adalah seorang ulama besar kerajaan Persia, sedangkan para Wali yang lain adalah ulama biasa dari Iran, wilayah di bawah kerajaan Persia juga. Sekalipun mereka berasal dari wilayah kerajaan yang sama, tetapi mereka datang sendiri-sendiri dengan menumpang kapal dagang. Syech Siti Jenar senang berkeliling negeri dan mencari tempat-tempat baru untuk mengajarkan agama Islam. Dan di setiap tempat yang didatanginya ia selalu berusaha beradaptasi dengan budaya setempat, sehingga ajaran-ajarannya selalu dapat diterima oleh masyarakat umum.
Di beberapa tempat beliau mendirikan pesantren-pesantren kecil sebagai sarana belajar agama bagi masyarakat setempat. Beliau juga mendidik utusan-utusan sebagai perwakilan dari daerah-daerah yang menerima ajarannya untuk diperdalam pengetahuan agamanya di padepokan / pesantrennya, yang kemudian setelah dianggap cukup pengetahuan / ilmu keagamaannya, dikirimkannya kembali ke daerah asalnya untuk mengajarkan agama kepada anggota masyarakat yang lain. Beliau menolak untuk tinggal di satu tempat untuk waktu yang lama sekalipun banyak penguasa daerah yang menawari tempat untuk padepokannya. Tetapi di Pengging beliau menerima tawaran Ki Ageng Pengging untuk mendirikan padepokan. Syech Siti Jenar mendirikan sebuah pesantren / padepokan di sebuah tempat yang disediakan oleh Ki Ageng Pengging (Ki Kebo Kenanga) yang menjadi penguasa Kadipaten Pengging. Padepokan itu menjadi tempat belajar agama Islam untuk para pengikutnya (santri), untuk rakyat umum dan juga untuk para pembesar dan keluarganya di mantan wilayah Majapahit.
Di tempat itu seringkali Ki Ageng Pengging dan Syech Siti Jenar saling bercakap bertukar pikiran. Mereka saling belajar satu sama lain. Ki Ageng Pengging belajar agama Islam kepada Syech Siti Jenar, sebaliknya Syech Siti Jenar belajar penghayatan kebatinan ketuhanan cara jawa kepada Ki Ageng Pengging. Masing-masing tidak menempatkan diri sebagai guru atau murid, tetapi saling menghormati dan masing-masing bersikap sebagai "orang tua" yang "menularkan" pengetahuan kepada yang lain. Ki Ageng Pengging (Ki Kebo Kenanga) adalah salah satu tokoh kebatinan jawa, sekaligus juga tokoh dunia persilatan pada masanya. Beliau adalah cucu raja terakhir Majapahit, Prabu Brawijaya. Ketika Prabu Brawijaya memilih lengser dari keprabuannya, pergi meninggalkan istananya untuk mandito, sama seperti para petinggi kerajaan lainnya yang kembali ke daerah asalnya masing-masing dengan membawa serta para prajuritnya, Ki Ageng Pengging bersama para prajuritnya juga kembali ke daerah asalnya di Pengging, menjadi Kepala / Penguasa Kadipaten Pengging sebagai warisan dari ayahnya yang menjadi menantu Prabu Brawijaya.
Setelah ditinggalkan Prabu Brawijaya kerajaan Majapahit yang sekarang bukanlah kerajaan Majapahit yang sama dengan yang dulu menjadi penguasa nusantara, hanya bangunannya saja yang masih berdiri menjadi simbol bekas sebuah kerajaan, tetapi "isinya" tidak sama. Di tempat tinggalnya Ki Ageng Pengging mendirikan sebuah padepokan kebatinan / kerohanian sendiri. Para prajurit beserta keluarganya yang setia mengabdi kepadanya tinggal di sekitar rumah dan padepokan itu, membentuk sebuah desa baru di sekitar tempat tinggalnya. Selain selalu berlatih beladiri dan keprajuritan, mereka juga menekuni kebatinan kerohanian kepada Ki Ageng Pengging. Ki Ageng Pengging telah membentuk kadipatennya menjadi kadipaten yang kuat, yang didukung oleh abdi-abdinya yang linuwih dan keprajuritan yang kuat. Selain dihormati sebagai seorang keturunan raja Majapahit, Ki Ageng Pengging juga dihormati karena kesaktian kanuragannya yang sangat tinggi, juga dikenal sebagai seorang yang linuwih dan waskita, yang sulit dicari tandingannya pada jamannya. Sebenarnya Syech Siti Jenar kurang mengerti tentang kebatinan kejawen. Syech Siti Jenar pada dasarnya adalah seorang ulama / pengajar agama Islam yang datang dari luar Jawa.
Pengetahuan kejawen dipelajarinya dari Ki Ageng Pengging dan yang dipelajarinya hanyalah intisarinya saja, untuk menambah wawasan kebijaksanaannya tentang kejawaan dan menambah dalam kebatinan ketuhanannya. Ajaran kejawen itu pada dasarnya adalah ajaran penghayatan ketuhanan dari sudut pandang orang Jawa. Dan atas pemahamannya pada ajaran kejawaan itu Syech Siti Jenar menemukan banyak pencerahan mengenai agama Islam, mendapatkan sudut pandang lain tentang pemahaman ketuhanan yang tidak akan didapatkannya jika hanya mengikuti tata cara Islam seperti yang selama ini dijalaninya. Kebatinan Jawa pada dasarnya adalah pemahaman dan penghayatan kepercayaan manusia Jawa terhadap Tuhan, yang kemudian diajarkan turun-temurun menjadi tradisi dan warisan budaya leluhur sejak jaman kerajaan purba, jauh sebelum hadirnya agama Hindu-Budha dan Islam di pulau Jawa. Penghayatan ketuhanan itu bukanlah agama. Agama yang dianut bisa apa saja, tetapi masyarakat Jawa mempunyai penghayatan sendiri tentang Tuhan. Agama Hindu dan Budha yang lebih dulu masuk ke Jawa telah diterima dengan baik oleh masyarakat Jawa dan mewarnai sikap kebatinan Jawa, karena memiliki banyak kesamaan dengan spiritualisme Jawa.
Pemahaman yang dalam mengenai ketuhanan Islam setelah memahami penghayatan kebatinan ketuhanan Jawa telah memperkaya wawasan KeTuhanan Syech Siti Jenar dan menjadi bahan untuk mengajarkan agama Islam di pulau Jawa. Semua pengetahuan itu berguna dalam mengadaptasikan ajaran Islam kepada masyarakat jawa pada saat itu yang mayoritas adalah penganut kejawen, dan berguna untuk bertukar pikiran atau berdebat tentang ketuhanan dan agama, tetapi selain itu penghayatan kebatinan itu juga telah menambah tinggi kekuatan kebatinan dan kegaiban sukmanya. Pada jaman dulu kesaktian memang adalah sesuatu yang sangat penting, karena Syech Siti Jenar juga harus menundukkan orang-orang yang menantangnya, yang tidak mau begitu saja menerima agama Islam. Itulah juga sebabnya Syech Siti Jenar belajar kebatinan jawa kepada Ki Ageng Pengging, seorang tokoh panutan rakyat, keturunan raja, yang memiliki kesaktian sangat tinggi, tetapi juga sangat dalam pengertian kebatinan dan spiritualnya. Bahkan para perampok dan garong pun tunduk juga kepadanya. Hingga suatu saat terjadi Syech Siti Jenar menegur para Wali yang lain, karena mereka tidak mau turun kepada masyarakat umum untuk mengajarkan agama, lebih suka tinggal di tempat-tempat kekuasaan dan kemewahan, lebih suka dekat dengan raja, bupati atau adipati, menikmati kekuasaan dan kemewahan, senang menggunakan cara-cara kekuasaan, senang memakai pakaian kebesaran dan hidup mewah.
Syech Siti Jenar juga menegur karena mereka telah berlaku sesat, mengajarkan ilmu-ilmu gaib / khodam budaya ilmu sihir Arab ke tanah Jawa, mempamerkannya kepada orang banyak seolah-olah itu adalah ilmu yang dari Allah, padahal perilaku dan budaya ilmu-ilmu dan ajaran seperti itu sangat dilarang dan ingin dimusnahkan oleh Nabi mereka. Teguran-teguran inilah awal yang menjadikan para Wali sakit hati dan memusuhi Syech Siti Jenar, sehingga mereka berusaha menjatuhkannya dengan berbagai cara. Pada saat itu, para Wali yang ditegur oleh Syech Siti Jenar memang tinggal di pusat-pusat kekuasaan. Selain mudah untuk urusan pribadi, juga lebih mudah dalam upaya mewujudkan misi mereka membangun kekhalifahan Islam di pulau Jawa. Mereka memang mengajarkan agama kepada para penguasa dan keluarganya dan kepada para keluarga bangsawan saja, sedangkan pengajaran agama kepada masyarakat umum diserahkan kepada murid-muridnya. Mereka membentuk suatu perhimpunan / ikatan para Wali yang sekarang disebut Dewan Wali.
Misi mereka adalah membangun kekhalifahan Islam di pulau Jawa dengan membesarkan kerajaan Demak sebagai langkah awalnya. Keberadaan mereka efektif dapat menyetir jalan dan kebijaksanaan pemerintahan, baik kerajaan, kadipaten, maupun kabupaten. Karena setelah para penguasa wilayah dan pejabat-pejabatnya memeluk agama Islam, maka semua kebijaksanaan dan keputusan para penguasa itu tidak boleh menyimpang dari aturan-aturan para wali agama, supaya mereka tidak disebut murtad atau tidak beriman, sehingga kemudian para penguasa itu tidak lagi menjadi penguasa mutlak, karena segala sesuatunya harus sesuai dengan kebijaksanaan para wali agama. Di dalam urusan pemerintahan sehari-hari justru kebijakan para Wali yang lebih menonjol daripada kebijakan penguasa wilayahnya. Di dunia Arab memang sudah sangat membudaya penggunaan ilmu gaib dan ilmu khodam, yang sebelum munculnya agama Islam ilmu-ilmu itu disebut sebagai ilmu-ilmu perdukunan, ilmu sihir, tenung, nujum, dsb. Ilmu-ilmu itu dilarang oleh Nabi mereka. Walaupun kemudian ilmu-ilmu gaib dan khodam tersebut telah diperbarui dan dilakukan dengan cara-cara yang bernuansa agama Islam agar tampak halal, tetap saja dilarang.
Musyrik dan Syirik hukumnya menyombongkan diri atas segala kemampuan manusia dan menyekutukan diri dengan selain Allah. Di Arab Saudi, negara kiblat agama Islam, keberadaan ilmu-ilmu gaib tersebut memang sudah tidak kelihatan lagi, karena merupakan perbuatan yang sangat terlarang, dianggap sama dengan perbuatan sihir dan berhala dan bersekutu dengan setan, hukumannya : mati ! Tetapi di negara-negara Arab lain ilmu-ilmu tersebut masih berkembang dan masih banyak digunakan. Justru ilmu-ilmu itulah yang sering dijadikan alat untuk menarik pengikut, sehingga kemudian berkembang suatu pandangan (sampai sekarang), bahwa seorang ulama atau seorang tokoh pemuka agama akan terkenal dan dianggap mumpuni (berkaromah) jika orang itu menguasai juga keilmuan gaib atau kesaktian. Jika tidak, maka ulama itu akan dianggap biasa saja, tidak istimewa. Selain yang tergabung di dalam Dewan Wali, masih ada banyak ahli-ahli agama dan penyebar agama Islam yang setingkat dengan Wali, tetapi karena posisi dan pengaruh mereka dianggap tidak cukup penting, mereka tidak dimasukkan ke dalam keanggotaan Dewan Wali.
Syech Siti Jenar sendiri sebenarnya tidak termasuk di dalam keanggotaan Dewan Wali, karena beliau tidak mau terikat dengan perhimpunan para Wali. Tetapi di kalangan masyarakat umum Syech Siti Jenar sangat dihormati dan dianggap setingkat Wali, malah banyak yang mengganggap Syech Siti Jenar lebih daripada sekedar Wali, karena dianggap ilmunya lebih "tua" dibandingkan para Wali yang lain. Sunan Kalijaga, sekalipun masih baru dalam agama Islam, dan juga belajar kepada para Wali, tetapi cepat mengerti dalam pelajaran agama Islam, giat menyebarkan agama Islam dan mempunyai pengaruh besar di masyarakat umum, sehingga ia dimasukkan ke dalam keanggotaan Dewan Wali, walaupun di dalam rapat untuk mengambil keputusan-keputusan penting, seperti memilih pejabat-pejabat kerajaan, kabupaten atau kadipaten, beliau seringkali tidak diikutsertakan. Sunan Kalijaga sendiri tidak begitu mempedulikan urusan kekuasaan dan kemewahan, karena ia adalah mantan anak seorang bupati yang sudah cukup kenyang dengan kekuasaan dan kemewahan. Malahan sebelumnya beliau telah pergi meninggalkan kemewahan hidupnya dan berkelana, menjadi perampok yang merampok pejabat-pejabat kaya dan merampok uang hasil penarikan pajak dari rakyat yang akan disetorkan kepada penguasa wilayah, kerajaan, kadipaten atau kabupaten, dan membagikan kembali hasil rampokannya itu kepada rakyat miskin dan yang telah diperas / dipaksa membayar pajak.
Sunan Kalijaga lebih suka berkeliling, berada di tengah-tengah masyarakat, bukan hanya untuk mengajarkan agama, tetapi juga untuk mengayomi mereka. Walaupun ilmu agamanya sudah cukup dalam, tetapi ia juga masih menyimpan kearifan kepercayaan lama, yaitu kejawen, sehingga ia juga peka dalam urusan kebatinan dan bisa beradaptasi dengan masyarakat umum yang menganut kepercayaan lama yang beraneka ragam. Ia juga sejalan dengan Syech Siti Jenar dan belajar juga kepadanya cara-cara menyebarkan agama Islam, yaitu menyebarkan agama Islam dengan tidak menggunakan cara-cara kekuasaan, pemaksaan dan kekerasan, tetapi menggunakan cara-cara yang adaptif dengan sikap hati dan cara hidup masyarakat setempat, cara-cara yang disukai dan dihargai oleh masyarakat umum, sehingga ajaran-ajarannya mendapatkan sambutan yang baik dari semua kalangan di masyarakat. Perseteruan utama yang terjadi sebenarnya adalah antara Syech Siti Jenar dengan Sunan Kudus di Demak, sedangkan para Wali yang lain hanya menjadi pendukung Sunan Kudus.
Salah satu yang dilakukan para Wali untuk menjatuhkan Syech Siti Jenar adalah menuduhnya telah sesat dan mengajarkan kesesatan. Dalam hal ini Syech Siti Jenar sebagai seorang pemuka agama Islam dianggap telah mengajarkan kebatinan agama yang bukan asli ajaran Islam, menyimpang dari ajaran Islam yang benar, dan dianggap sesat. Juga dengan ajarannya Manunggaling Kawula Lan Gusti, Syech Siti Jenar dituduh telah sesat, dituduh menyamakan dirinya dengan Allah dan mengaku dirinya Allah. Syech Siti Jenar juga dituduh telah menyesatkan orang banyak dengan mengajarkan bahwa untuk beribadah kepada Allah tidak harus dengan sholat. Dengan demikian sama saja Syech Siti Jenar meniadakan kewajiban sholat. Ajaran Syech Siti Jenar juga mengatakan bahwa kehidupan di dunia adalah kematian / neraka, dan kehidupan sejati, kehidupan yang sebenarnya, yaitu 'surga', adalah kehidupan sesudah kematian, sehingga banyak pengikutnya yang tidak mengerti dengan benar ajarannya itu kemudian banyak yang berusaha bunuh diri untuk dapat segera mengalami surga hidup sesudah kematian.
Berbagai tuduhan itu juga diperkuat oleh kesaksian orang-orang yang diutus para Wali kepada Syech Siti Jenar. Pada saat mereka datang ke padepokan / pesantren Syech Siti Jenar dijawab: "Syech Siti Jenar tidak ada. Yang ada adalah Allah". Dengan demikian dalam pengertian mereka, Syech Siti Jenar menyamakan dirinya dengan Allah. Memang banyak ajaran dan perkataan Syech Siti Jenar yang terlalu "tinggi", sehingga banyak orang yang tidak dapat mengerti ajarannya dengan benar. Padahal maksudnya tidak begitu. Seharusnya orang memiliki kearifan yang tinggi ketika berhadapan dengan orang "tinggi" seperti Syech Siti Jenar. Misalnya, orang yang datang ke padepokannya, tentulah bukan datang untuk menemui manusia Syech Siti Jenar, tetapi untuk belajar agama Allah, datang untuk mencari Allah. Sehingga yang ada di padepokannya bukanlah sekumpulan manusia biasa, tetapi adalah kumpulan orang-orang yang bersatu di dalam Allah. Sehingga bila ada orang datang ke pesantren / padepokannya, tentunya bukanlah mencari manusia Syech Siti Jenar, tetapi mencari Allah. Syech Siti Jenar juga tidak bermaksud meniadakan hukum sholat, karena sholat tetap diajarkan kepada murid-muridnya.
Tetapi kepada mereka yang sudah senior dan sudah cukup "dalam" pelajaran agamanya juga diajarkan manekung-manembah, Manunggaling Kawula Lan Gusti, yang menekankan kesatuan hati dan batin dalam menyembah Allah, pencerahan ketuhanan yang diterimanya dari memahami penghayatan ketuhanan jawa, sehingga ibadah tidak hanya dilakukan secara formal dan fisik saja, tetapi juga secara hati dan batin, dan ada saat-saat tertentu mereka secara khusus mendekatkan diri kepada Allah, bersamadi, berzikir atau wirid. Bahkan dapat ditunjukkannya, di dalam kekuatan hati / batin dalam penghayatan kepercayaan kepada Allah, dengan hanya mengucap bismillah ..... ia menyembuhkan orang sakit, dsb. Dengan demikian ia menekankan bahwa dengan mengimani kesatuan batinnya dengan Allah, manusia dapat menghadirkan kuasa Allah dalam dirinya, manusia dapat melakukan mukjizat tanpa harus sebelumnya membaca / mengamalkan amalan gaib, termasuk amalan-amalan gaib yang direkayasa bernuansa agama.
Dalam kondisi demikian kuasa Allah hadir di dalam dirinya ketika ia mengimani dirinya menyatu dengan Allah, bukan berarti ia menyamakan dirinya dengan Allah. Ajaran Manunggaling atau menyatu dengan Allah tidaklah sama dengan mengaku diri sebagai Allah atau menyamakan diri dengan Allah (walaupun ajaran manunggaling dari Syech Siti Jenar dinyatakan sesat, tetapi kemudian masing-masing Wali menciptakan sendiri-sendiri konsep dan ajaran manunggaling kawula lan gusti menurut versi dan persepsi mereka sendiri-sendiri). Memang banyak ajaran Syech Siti Jenar yang terlalu "tinggi", karena ajarannya bukan hanya sebatas syariat dan tata ibadah seperti yang diajarkan oleh para wali yang lain. Selain itu banyak juga ajaran-ajarannya yang disampaikan dengan menggunakan bahasa perlambang kebatinan jawa sesuai budaya saat itu, yang orang tidak akan mengerti jika memahaminya secara dangkal atau hanya memahami yang tersurat saja tanpa memiliki kebijaksanaan untuk memahami yang tersirat, sehingga bukan hanya orang awam, bahkan orang-orang ahli agama seperti para Wali sekalipun juga tidak dapat mengerti ajarannya dengan benar.
Tetapi jika mereka memiliki pengetahuan agama dan kearifan yang dalam dan hikmat kebijaksanaan di dalam diri mereka, dan tidak berpikir negatif atau bertendensi / berniat buruk, seharusnya mereka dapat mengerti. Sunan Kalijaga, sekalipun adalah yang paling muda di antara para Wali dan adalah juga murid mereka, tetapi memiliki kebijaksanaan dan pengertian kebatinan yang dalam dan dapat mengerti kebenaran ajaran Syech Siti Jenar. Ia juga diam-diam belajar kepadanya dan mengikuti cara-cara yang digunakan oleh Syech Siti Jenar dalam menyebarkan agama Islam, cara-cara yang sederhana tapi merakyat, tidak seperti para Wali lainnya yang melakukannya dengan jalan kekuasaan. Tetapi setiap kali ia datang ke padepokan Syech Siti Jenar, ia selalu dibuntuti oleh Sunan yang lain, karena para Wali khawatir Sunan Kalijaga akan dapat dipengaruhi dan berpihak kepada Syech Siti Jenar.
Sebenarnya kekhawatiran para Wali bukanlah hanya sebatas masalah pribadi ataupun pengaruh ajaran Syech Siti Jenar dan perkembangannya yang pesat, tetapi karena banyak murid dan pengikut Syech Siti Jenar itu merupakan keturunan / trah kerajaan Majapahit yang juga mempunyai hak atas tahta yang sama seperti Raden Patah sang raja Demak. Para murid dan pengikut Syech Siti Jenar itu banyak yang menjadi penguasa wilayah kadipaten dan kabupaten dan tidak berada di bawah kekuasaan kerajaan Demak. Mereka berkesaktian tinggi dan memiliki banyak prajurit, yang dapat menjadi bahaya bagi kerajaan Demak di kemudian hari. Syech Siti Jenar dapat menjadi masalah besar bagi kerajaan Demak dikemudian hari, tetapi untuk menyerang Syech Siti Jenar secara langsung adalah sangat tidak mungkin. Kegaiban Syech Siti Jenar terlalu tinggi. Seandainya pun para Wali bersama-sama datang menyerang Syech Siti Jenar, jangankan untuk menangkap, menyentuhnya pun tidak dapat. Satu-satunya jalan hanyalah dengan menjatuhkannya secara agama dan mendatangkan bantuan dari kerajaan Demak. Begitu juga dengan para pengikut Syech Siti Jenar. Banyak di antara mereka adalah adipati atau bupati, kepala kadipaten / kabupaten yang berkesaktian sangat tinggi dan juga memiliki banyak tentara didikan kerajaan Majapahit.
Kadipaten Pengging saja mampu dengan mudah melenyapkan kerajaan Demak, jika mereka menghendaki, sedangkan di bekas-bekas wilayah Majapahit yang lain ada banyak kadipaten yang setingkat dengan Pengging. Walaupun Demak didukung oleh para Wali sekalipun, dengan mudah mereka dapat melenyapkan kerajaan Demak, jika mereka menghendaki. Mereka sudah berpengalaman malang-melintang dalam peperangan mengamankan berbagai daerah di dalam wilayah kekuasaan Majapahit, sehingga kerajaan kecil dan baru seperti Demak bukanlah ancaman besar bagi mereka. Kerajaan Demak dan tentaranya beserta para Wali di dalamnya tidak akan pernah mampu menundukkan mereka, apalagi menundukkan seluruh penguasa di bekas wilayah Majapahit. Tak ada harapan bagi Demak untuk menang, jika dilakukan dengan peperangan. Sekalipun para Wali terkenal dengan ilmu gaibnya, tetapi kesaktian ilmu gaib para Wali masih jauh di bawah kesaktian mereka dan tidak akan pernah mampu menandingi kesaktian mereka.
Di mata mereka, kesaktian gaib para Wali itu hanyalah permainan anak-anak dan hanya cocok untuk atraksi hiburan bagi rakyat jelata. Walaupun sebenarnya di mata mereka kerajaan Demak tidak mempunyai dasar legitimasi yang kuat, karena Prabu Brawijaya melepaskan kekuasaan pemerintahan kepada Raden Patah setelah beliau lengser dari keprabuannya, bukan pada saat masih memegang jabatan raja, dan mereka pun masih keturunan raja-raja Majapahit yang mempunyai hak yang sama atas tahta seperti Raden Patah, tetapi demi menghormati junjungan mereka Prabu Brawijaya yang telah melepaskan kekuasaan kerajaan, mereka tidak menyerang Demak. Tetapi mereka tidak mau tunduk dan menyerahkan janji setia kepada Demak, apalagi tunduk di bawah bayang-bayang kekuasaan para Wali. Mereka memilih kembali ke daerahnya masing-masing menjadi pemimpin kadipaten, kabupaten, kademangan, dsb, dengan membawa serta para prajurit pengikut setia mereka masing-masing. Maka ketika di dalam suatu persidangan dakwaan para Wali tidak dapat menjerat Syech Siti Jenar, para Wali memutuskan akan membawanya ke persidangan lanjutan di hadapan Sultan Demak sebagai hakim tertinggi. Tetapi Syech Siti Jenar menolak dan berkata: "Aku telah mengajarkan apa yang aku anggap benar dan kamu juga tidak dapat menemukan kesalahan di dalam ajaran-ajaranku. Tetapi jika aku menjadi batu sandungan ...... , biarlah aku menghilang dari kehidupan manusia". Setelah berkata demikian, Syech Siti Jenar bersemadi sesaat, kemudian hilanglah Syech Siti Jenar dari hadapan mereka, moksa, menghilang masuk ke alam gaib bersama dengan raganya.
Bersamaan dengan hilangnya tubuh Syech Siti Jenar, terciumlah bau harum wangi semerbak hingga tercium baunya sampai keluar halaman mesjid. Setelah moksanya Syech Siti Jenar, dengan memimpin sejumlah besar prajurit Demak, para Wali dan Sunan Kudus sebagai panglimanya yang selalu mengikutkan laskar santri sebagai ujung tombak pasukannya memburu dan mendatangi pengikut-pengikut Syech Siti Jenar untuk ditawan dan dibawa ke Demak. Para Wali dan para prajuritnya harus sangat berhati-hati, karena para pengikut Syech Siti Jenar itu banyak yang memiliki kesaktian tinggi, ilmu kesaktian jaman Majapahit, yang bersama dengan para pengawal dan pengikutnya mampu menjungkir-balikkan para Wali dan tentaranya, sehingga para Wali dengan cerdik menggunakan strategi bukan akan menangkap mereka dengan alasan pemberontakan atau pun alasan politik lainnya yang mungkin akan menimbulkan perlawanan dan peperangan, tetapi akan membawa mereka untuk diadili di Demak, sehubungan kesesatan ajaran agama dari Syech Siti Jenar yang mereka anut.
Tetapi Ki Ageng Pengging (Ki Kebo Kenanga) dan banyak tokoh-tokoh lain pengikut Syech Siti Jenar menolak untuk ditawan dan lebih memilih mati, karena mereka yakin pada kebenaran kepercayaan mereka. Mereka mengambil jalan kematian dengan cara memutus nyawa mereka setelah bersemadi sesaat (megat-ruh). Namun sesudah kematian mereka itu, para prajurit Demak kemudian memenggal kepala mereka dan juga membantai habis keluarga mereka sampai kepada anak-anak dan bayi, termasuk juga membantai para prajurit pengikut mereka dan keluarganya dan para penduduk di sekitarnya yang mengabdi kepada mereka. Dengan demikian mereka telah mentuntaskan "persaingan agama" dan telah menumpas habis benih-benih kerajaan Majapahit yang dapat menjadi bahaya bagi Demak dikemudian hari. Para Wali dan prajurit Demak kemudian juga menduduki istana Majapahit yang telah ditinggalkan oleh Prabu Brawijaya. Berbagai macam benda pusaka kerajaan Majapahit diboyong ke Demak, termasuk sepasang keris Nagasasra dan Sabuk Inten yang menjadi lambang kebesaran kerajaan Majapahit, tetapi naskah-naskah sastra dan keagamaan lama dimusnahkan dan tempat-tempat ibadah di lingkungan istana dihancurkan.
Dalam perjalanan kembali ke Demak pun banyak situs-situs keagamaan yang dirusak. Dalam penaklukkan-penaklukkan berikutnya oleh pasukan Demak dan laskar santrinya terhadap bekas-bekas wilayah kerajaan Majapahit, kadipaten dan kabupaten dan wilayah-wilayah yang menerima pengaruh ajaran Syech Siti Jenar selalu disertai dengan pembunuhan besar-besaran sampai kepada anak-anak dan bayi, sehingga terjadi pengungsian besar-besaran rakyat yang berusaha menyelamatkan diri. Sebagian besar rakyat mengungsi ke pelosok-pelosok, ke hutan dan ke gunung-gunung. Sebagian orang kaya dan keluarga bangsawan mengungsi sampai ke pulau Bali. Ribu-ribuan nyawa telah melayang menjadi tumbal ambisi kekuasaan mereka, menjadi kepiluan tanah jawa atas pembunuhan-pembunuhan oleh generasi mudanya yang sudah hilang jawanya, menjadikan bulan Sura sebagai bulan perkabungan mereka.
Sekalipun kerajaan Majapahit sudah dalam kondisi rapuh karena di dalamnya banyak terjadi perselisihan dan perebutan kekuasaan antar anggota keluarga kerajaan, tetap saja kekuatan tentara Majapahit masih terlalu kuat untuk dilawan oleh sebuah kerajaan kecil baru seperti Demak. Karena itu, dengan dukungan para Wali, Raden Patah berusaha menundukkan Prabu Brawijaya tidak dengan kekuatan tentara, tetapi dengan pendekatan agama, memaksakan agama Islam kepadanya. Sampai akhirnya, karena tidak mau memerangi cucunya sendiri, tidak mau memerangi rakyatnya sendiri para santri agama yang dijadikan ujung tombak pasukan Demak dan para Wali dan siap mati untuk mereka, kearifannya membuat Prabu Brawijaya memilih menyingkir, lengser dari keprabuannya, keluar dari istana untuk menepi dan mandito.
Sepeninggalnya itu maka resmi sejak itu berakhirlah jaman kejayaan kerajaan Majapahit. Gunung Lawu, yang rencananya akan menjadi tempat Prabu Brawijaya menepi, mandito, di kaki gunung dan bagian lerengnya dikepung oleh laskar santri dan pasukan Demak. Sekalipun Prabu Brawijaya sudah lengser dari tahtanya, sudah meninggalkan kekuasaan, sudah keluar dari istana untuk mandito, dan sudah juga mengucapkan syahadat agama Islam sesuai kemauan Raden Patah melalui duta utusannya Sunan Kalijaga, tetapi karena pengaruh para Wali, Raden Patah terus memburu Prabu Brawijaya. Yang diinginkannya adalah penyerahan total Prabu Brawijaya beserta para bawahan dan semua pengikutnya. Prabu Brawijaya mengerti maksud dari Raden Patah, yaitu supaya semua bawahannya pun menyerahkan diri dan tunduk setia kepada kerajaan Demak agar tidak menjadi bahaya bagi Demak dikemudian hari. Tetapi ia pun menyadari bahwa banyak bawahan dan pengikut yang setia kepadanya itu adalah juga orang-orang keturunan Majapahit, yang juga memiliki hak yang sama atas tahta seperti Raden Patah. Karena itu demi berlaku arif dan adil Prabu Brawijaya tidak mau memaksa para bawahan dan pengikutnya menyerahkan diri mereka kepada Demak.
Prabu Brawijaya tidak mengabulkan keinginan Raden Patah itu dengan alasan ia sudah melepaskan kekuasaan, tidak mempunyai kewenangan lagi sebagai seorang raja untuk memerintahkan para bawahan dan pengikutnya untuk tunduk kepada Demak. Terserah kepada raja yang baru apakah mampu menundukkan mereka atau tidak. Para Wali, selain Sunan Kalijaga, adalah pendatang dari kerajaan Persia (Irak). Syech Siti Jenar adalah seorang ulama besar kerajaan Persia, sedangkan para Wali yang lain adalah ulama biasa dari Iran, wilayah di bawah kerajaan Persia juga. Sekalipun mereka berasal dari wilayah kerajaan yang sama, tetapi mereka datang sendiri-sendiri dengan menumpang kapal dagang. Syech Siti Jenar senang berkeliling negeri dan mencari tempat-tempat baru untuk mengajarkan agama Islam. Dan di setiap tempat yang didatanginya ia selalu berusaha beradaptasi dengan budaya setempat, sehingga ajaran-ajarannya selalu dapat diterima oleh masyarakat umum.
Di beberapa tempat beliau mendirikan pesantren-pesantren kecil sebagai sarana belajar agama bagi masyarakat setempat. Beliau juga mendidik utusan-utusan sebagai perwakilan dari daerah-daerah yang menerima ajarannya untuk diperdalam pengetahuan agamanya di padepokan / pesantrennya, yang kemudian setelah dianggap cukup pengetahuan / ilmu keagamaannya, dikirimkannya kembali ke daerah asalnya untuk mengajarkan agama kepada anggota masyarakat yang lain. Beliau menolak untuk tinggal di satu tempat untuk waktu yang lama sekalipun banyak penguasa daerah yang menawari tempat untuk padepokannya. Tetapi di Pengging beliau menerima tawaran Ki Ageng Pengging untuk mendirikan padepokan. Syech Siti Jenar mendirikan sebuah pesantren / padepokan di sebuah tempat yang disediakan oleh Ki Ageng Pengging (Ki Kebo Kenanga) yang menjadi penguasa Kadipaten Pengging. Padepokan itu menjadi tempat belajar agama Islam untuk para pengikutnya (santri), untuk rakyat umum dan juga untuk para pembesar dan keluarganya di mantan wilayah Majapahit.
Di tempat itu seringkali Ki Ageng Pengging dan Syech Siti Jenar saling bercakap bertukar pikiran. Mereka saling belajar satu sama lain. Ki Ageng Pengging belajar agama Islam kepada Syech Siti Jenar, sebaliknya Syech Siti Jenar belajar penghayatan kebatinan ketuhanan cara jawa kepada Ki Ageng Pengging. Masing-masing tidak menempatkan diri sebagai guru atau murid, tetapi saling menghormati dan masing-masing bersikap sebagai "orang tua" yang "menularkan" pengetahuan kepada yang lain. Ki Ageng Pengging (Ki Kebo Kenanga) adalah salah satu tokoh kebatinan jawa, sekaligus juga tokoh dunia persilatan pada masanya. Beliau adalah cucu raja terakhir Majapahit, Prabu Brawijaya. Ketika Prabu Brawijaya memilih lengser dari keprabuannya, pergi meninggalkan istananya untuk mandito, sama seperti para petinggi kerajaan lainnya yang kembali ke daerah asalnya masing-masing dengan membawa serta para prajuritnya, Ki Ageng Pengging bersama para prajuritnya juga kembali ke daerah asalnya di Pengging, menjadi Kepala / Penguasa Kadipaten Pengging sebagai warisan dari ayahnya yang menjadi menantu Prabu Brawijaya.
Setelah ditinggalkan Prabu Brawijaya kerajaan Majapahit yang sekarang bukanlah kerajaan Majapahit yang sama dengan yang dulu menjadi penguasa nusantara, hanya bangunannya saja yang masih berdiri menjadi simbol bekas sebuah kerajaan, tetapi "isinya" tidak sama. Di tempat tinggalnya Ki Ageng Pengging mendirikan sebuah padepokan kebatinan / kerohanian sendiri. Para prajurit beserta keluarganya yang setia mengabdi kepadanya tinggal di sekitar rumah dan padepokan itu, membentuk sebuah desa baru di sekitar tempat tinggalnya. Selain selalu berlatih beladiri dan keprajuritan, mereka juga menekuni kebatinan kerohanian kepada Ki Ageng Pengging. Ki Ageng Pengging telah membentuk kadipatennya menjadi kadipaten yang kuat, yang didukung oleh abdi-abdinya yang linuwih dan keprajuritan yang kuat. Selain dihormati sebagai seorang keturunan raja Majapahit, Ki Ageng Pengging juga dihormati karena kesaktian kanuragannya yang sangat tinggi, juga dikenal sebagai seorang yang linuwih dan waskita, yang sulit dicari tandingannya pada jamannya. Sebenarnya Syech Siti Jenar kurang mengerti tentang kebatinan kejawen. Syech Siti Jenar pada dasarnya adalah seorang ulama / pengajar agama Islam yang datang dari luar Jawa.
Pengetahuan kejawen dipelajarinya dari Ki Ageng Pengging dan yang dipelajarinya hanyalah intisarinya saja, untuk menambah wawasan kebijaksanaannya tentang kejawaan dan menambah dalam kebatinan ketuhanannya. Ajaran kejawen itu pada dasarnya adalah ajaran penghayatan ketuhanan dari sudut pandang orang Jawa. Dan atas pemahamannya pada ajaran kejawaan itu Syech Siti Jenar menemukan banyak pencerahan mengenai agama Islam, mendapatkan sudut pandang lain tentang pemahaman ketuhanan yang tidak akan didapatkannya jika hanya mengikuti tata cara Islam seperti yang selama ini dijalaninya. Kebatinan Jawa pada dasarnya adalah pemahaman dan penghayatan kepercayaan manusia Jawa terhadap Tuhan, yang kemudian diajarkan turun-temurun menjadi tradisi dan warisan budaya leluhur sejak jaman kerajaan purba, jauh sebelum hadirnya agama Hindu-Budha dan Islam di pulau Jawa. Penghayatan ketuhanan itu bukanlah agama. Agama yang dianut bisa apa saja, tetapi masyarakat Jawa mempunyai penghayatan sendiri tentang Tuhan. Agama Hindu dan Budha yang lebih dulu masuk ke Jawa telah diterima dengan baik oleh masyarakat Jawa dan mewarnai sikap kebatinan Jawa, karena memiliki banyak kesamaan dengan spiritualisme Jawa.
Pemahaman yang dalam mengenai ketuhanan Islam setelah memahami penghayatan kebatinan ketuhanan Jawa telah memperkaya wawasan KeTuhanan Syech Siti Jenar dan menjadi bahan untuk mengajarkan agama Islam di pulau Jawa. Semua pengetahuan itu berguna dalam mengadaptasikan ajaran Islam kepada masyarakat jawa pada saat itu yang mayoritas adalah penganut kejawen, dan berguna untuk bertukar pikiran atau berdebat tentang ketuhanan dan agama, tetapi selain itu penghayatan kebatinan itu juga telah menambah tinggi kekuatan kebatinan dan kegaiban sukmanya. Pada jaman dulu kesaktian memang adalah sesuatu yang sangat penting, karena Syech Siti Jenar juga harus menundukkan orang-orang yang menantangnya, yang tidak mau begitu saja menerima agama Islam. Itulah juga sebabnya Syech Siti Jenar belajar kebatinan jawa kepada Ki Ageng Pengging, seorang tokoh panutan rakyat, keturunan raja, yang memiliki kesaktian sangat tinggi, tetapi juga sangat dalam pengertian kebatinan dan spiritualnya. Bahkan para perampok dan garong pun tunduk juga kepadanya. Hingga suatu saat terjadi Syech Siti Jenar menegur para Wali yang lain, karena mereka tidak mau turun kepada masyarakat umum untuk mengajarkan agama, lebih suka tinggal di tempat-tempat kekuasaan dan kemewahan, lebih suka dekat dengan raja, bupati atau adipati, menikmati kekuasaan dan kemewahan, senang menggunakan cara-cara kekuasaan, senang memakai pakaian kebesaran dan hidup mewah.
Syech Siti Jenar juga menegur karena mereka telah berlaku sesat, mengajarkan ilmu-ilmu gaib / khodam budaya ilmu sihir Arab ke tanah Jawa, mempamerkannya kepada orang banyak seolah-olah itu adalah ilmu yang dari Allah, padahal perilaku dan budaya ilmu-ilmu dan ajaran seperti itu sangat dilarang dan ingin dimusnahkan oleh Nabi mereka. Teguran-teguran inilah awal yang menjadikan para Wali sakit hati dan memusuhi Syech Siti Jenar, sehingga mereka berusaha menjatuhkannya dengan berbagai cara. Pada saat itu, para Wali yang ditegur oleh Syech Siti Jenar memang tinggal di pusat-pusat kekuasaan. Selain mudah untuk urusan pribadi, juga lebih mudah dalam upaya mewujudkan misi mereka membangun kekhalifahan Islam di pulau Jawa. Mereka memang mengajarkan agama kepada para penguasa dan keluarganya dan kepada para keluarga bangsawan saja, sedangkan pengajaran agama kepada masyarakat umum diserahkan kepada murid-muridnya. Mereka membentuk suatu perhimpunan / ikatan para Wali yang sekarang disebut Dewan Wali.
Misi mereka adalah membangun kekhalifahan Islam di pulau Jawa dengan membesarkan kerajaan Demak sebagai langkah awalnya. Keberadaan mereka efektif dapat menyetir jalan dan kebijaksanaan pemerintahan, baik kerajaan, kadipaten, maupun kabupaten. Karena setelah para penguasa wilayah dan pejabat-pejabatnya memeluk agama Islam, maka semua kebijaksanaan dan keputusan para penguasa itu tidak boleh menyimpang dari aturan-aturan para wali agama, supaya mereka tidak disebut murtad atau tidak beriman, sehingga kemudian para penguasa itu tidak lagi menjadi penguasa mutlak, karena segala sesuatunya harus sesuai dengan kebijaksanaan para wali agama. Di dalam urusan pemerintahan sehari-hari justru kebijakan para Wali yang lebih menonjol daripada kebijakan penguasa wilayahnya. Di dunia Arab memang sudah sangat membudaya penggunaan ilmu gaib dan ilmu khodam, yang sebelum munculnya agama Islam ilmu-ilmu itu disebut sebagai ilmu-ilmu perdukunan, ilmu sihir, tenung, nujum, dsb. Ilmu-ilmu itu dilarang oleh Nabi mereka. Walaupun kemudian ilmu-ilmu gaib dan khodam tersebut telah diperbarui dan dilakukan dengan cara-cara yang bernuansa agama Islam agar tampak halal, tetap saja dilarang.
Musyrik dan Syirik hukumnya menyombongkan diri atas segala kemampuan manusia dan menyekutukan diri dengan selain Allah. Di Arab Saudi, negara kiblat agama Islam, keberadaan ilmu-ilmu gaib tersebut memang sudah tidak kelihatan lagi, karena merupakan perbuatan yang sangat terlarang, dianggap sama dengan perbuatan sihir dan berhala dan bersekutu dengan setan, hukumannya : mati ! Tetapi di negara-negara Arab lain ilmu-ilmu tersebut masih berkembang dan masih banyak digunakan. Justru ilmu-ilmu itulah yang sering dijadikan alat untuk menarik pengikut, sehingga kemudian berkembang suatu pandangan (sampai sekarang), bahwa seorang ulama atau seorang tokoh pemuka agama akan terkenal dan dianggap mumpuni (berkaromah) jika orang itu menguasai juga keilmuan gaib atau kesaktian. Jika tidak, maka ulama itu akan dianggap biasa saja, tidak istimewa. Selain yang tergabung di dalam Dewan Wali, masih ada banyak ahli-ahli agama dan penyebar agama Islam yang setingkat dengan Wali, tetapi karena posisi dan pengaruh mereka dianggap tidak cukup penting, mereka tidak dimasukkan ke dalam keanggotaan Dewan Wali.
Syech Siti Jenar sendiri sebenarnya tidak termasuk di dalam keanggotaan Dewan Wali, karena beliau tidak mau terikat dengan perhimpunan para Wali. Tetapi di kalangan masyarakat umum Syech Siti Jenar sangat dihormati dan dianggap setingkat Wali, malah banyak yang mengganggap Syech Siti Jenar lebih daripada sekedar Wali, karena dianggap ilmunya lebih "tua" dibandingkan para Wali yang lain. Sunan Kalijaga, sekalipun masih baru dalam agama Islam, dan juga belajar kepada para Wali, tetapi cepat mengerti dalam pelajaran agama Islam, giat menyebarkan agama Islam dan mempunyai pengaruh besar di masyarakat umum, sehingga ia dimasukkan ke dalam keanggotaan Dewan Wali, walaupun di dalam rapat untuk mengambil keputusan-keputusan penting, seperti memilih pejabat-pejabat kerajaan, kabupaten atau kadipaten, beliau seringkali tidak diikutsertakan. Sunan Kalijaga sendiri tidak begitu mempedulikan urusan kekuasaan dan kemewahan, karena ia adalah mantan anak seorang bupati yang sudah cukup kenyang dengan kekuasaan dan kemewahan. Malahan sebelumnya beliau telah pergi meninggalkan kemewahan hidupnya dan berkelana, menjadi perampok yang merampok pejabat-pejabat kaya dan merampok uang hasil penarikan pajak dari rakyat yang akan disetorkan kepada penguasa wilayah, kerajaan, kadipaten atau kabupaten, dan membagikan kembali hasil rampokannya itu kepada rakyat miskin dan yang telah diperas / dipaksa membayar pajak.
Sunan Kalijaga lebih suka berkeliling, berada di tengah-tengah masyarakat, bukan hanya untuk mengajarkan agama, tetapi juga untuk mengayomi mereka. Walaupun ilmu agamanya sudah cukup dalam, tetapi ia juga masih menyimpan kearifan kepercayaan lama, yaitu kejawen, sehingga ia juga peka dalam urusan kebatinan dan bisa beradaptasi dengan masyarakat umum yang menganut kepercayaan lama yang beraneka ragam. Ia juga sejalan dengan Syech Siti Jenar dan belajar juga kepadanya cara-cara menyebarkan agama Islam, yaitu menyebarkan agama Islam dengan tidak menggunakan cara-cara kekuasaan, pemaksaan dan kekerasan, tetapi menggunakan cara-cara yang adaptif dengan sikap hati dan cara hidup masyarakat setempat, cara-cara yang disukai dan dihargai oleh masyarakat umum, sehingga ajaran-ajarannya mendapatkan sambutan yang baik dari semua kalangan di masyarakat. Perseteruan utama yang terjadi sebenarnya adalah antara Syech Siti Jenar dengan Sunan Kudus di Demak, sedangkan para Wali yang lain hanya menjadi pendukung Sunan Kudus.
Salah satu yang dilakukan para Wali untuk menjatuhkan Syech Siti Jenar adalah menuduhnya telah sesat dan mengajarkan kesesatan. Dalam hal ini Syech Siti Jenar sebagai seorang pemuka agama Islam dianggap telah mengajarkan kebatinan agama yang bukan asli ajaran Islam, menyimpang dari ajaran Islam yang benar, dan dianggap sesat. Juga dengan ajarannya Manunggaling Kawula Lan Gusti, Syech Siti Jenar dituduh telah sesat, dituduh menyamakan dirinya dengan Allah dan mengaku dirinya Allah. Syech Siti Jenar juga dituduh telah menyesatkan orang banyak dengan mengajarkan bahwa untuk beribadah kepada Allah tidak harus dengan sholat. Dengan demikian sama saja Syech Siti Jenar meniadakan kewajiban sholat. Ajaran Syech Siti Jenar juga mengatakan bahwa kehidupan di dunia adalah kematian / neraka, dan kehidupan sejati, kehidupan yang sebenarnya, yaitu 'surga', adalah kehidupan sesudah kematian, sehingga banyak pengikutnya yang tidak mengerti dengan benar ajarannya itu kemudian banyak yang berusaha bunuh diri untuk dapat segera mengalami surga hidup sesudah kematian.
Berbagai tuduhan itu juga diperkuat oleh kesaksian orang-orang yang diutus para Wali kepada Syech Siti Jenar. Pada saat mereka datang ke padepokan / pesantren Syech Siti Jenar dijawab: "Syech Siti Jenar tidak ada. Yang ada adalah Allah". Dengan demikian dalam pengertian mereka, Syech Siti Jenar menyamakan dirinya dengan Allah. Memang banyak ajaran dan perkataan Syech Siti Jenar yang terlalu "tinggi", sehingga banyak orang yang tidak dapat mengerti ajarannya dengan benar. Padahal maksudnya tidak begitu. Seharusnya orang memiliki kearifan yang tinggi ketika berhadapan dengan orang "tinggi" seperti Syech Siti Jenar. Misalnya, orang yang datang ke padepokannya, tentulah bukan datang untuk menemui manusia Syech Siti Jenar, tetapi untuk belajar agama Allah, datang untuk mencari Allah. Sehingga yang ada di padepokannya bukanlah sekumpulan manusia biasa, tetapi adalah kumpulan orang-orang yang bersatu di dalam Allah. Sehingga bila ada orang datang ke pesantren / padepokannya, tentunya bukanlah mencari manusia Syech Siti Jenar, tetapi mencari Allah. Syech Siti Jenar juga tidak bermaksud meniadakan hukum sholat, karena sholat tetap diajarkan kepada murid-muridnya.
Tetapi kepada mereka yang sudah senior dan sudah cukup "dalam" pelajaran agamanya juga diajarkan manekung-manembah, Manunggaling Kawula Lan Gusti, yang menekankan kesatuan hati dan batin dalam menyembah Allah, pencerahan ketuhanan yang diterimanya dari memahami penghayatan ketuhanan jawa, sehingga ibadah tidak hanya dilakukan secara formal dan fisik saja, tetapi juga secara hati dan batin, dan ada saat-saat tertentu mereka secara khusus mendekatkan diri kepada Allah, bersamadi, berzikir atau wirid. Bahkan dapat ditunjukkannya, di dalam kekuatan hati / batin dalam penghayatan kepercayaan kepada Allah, dengan hanya mengucap bismillah ..... ia menyembuhkan orang sakit, dsb. Dengan demikian ia menekankan bahwa dengan mengimani kesatuan batinnya dengan Allah, manusia dapat menghadirkan kuasa Allah dalam dirinya, manusia dapat melakukan mukjizat tanpa harus sebelumnya membaca / mengamalkan amalan gaib, termasuk amalan-amalan gaib yang direkayasa bernuansa agama.
Dalam kondisi demikian kuasa Allah hadir di dalam dirinya ketika ia mengimani dirinya menyatu dengan Allah, bukan berarti ia menyamakan dirinya dengan Allah. Ajaran Manunggaling atau menyatu dengan Allah tidaklah sama dengan mengaku diri sebagai Allah atau menyamakan diri dengan Allah (walaupun ajaran manunggaling dari Syech Siti Jenar dinyatakan sesat, tetapi kemudian masing-masing Wali menciptakan sendiri-sendiri konsep dan ajaran manunggaling kawula lan gusti menurut versi dan persepsi mereka sendiri-sendiri). Memang banyak ajaran Syech Siti Jenar yang terlalu "tinggi", karena ajarannya bukan hanya sebatas syariat dan tata ibadah seperti yang diajarkan oleh para wali yang lain. Selain itu banyak juga ajaran-ajarannya yang disampaikan dengan menggunakan bahasa perlambang kebatinan jawa sesuai budaya saat itu, yang orang tidak akan mengerti jika memahaminya secara dangkal atau hanya memahami yang tersurat saja tanpa memiliki kebijaksanaan untuk memahami yang tersirat, sehingga bukan hanya orang awam, bahkan orang-orang ahli agama seperti para Wali sekalipun juga tidak dapat mengerti ajarannya dengan benar.
Tetapi jika mereka memiliki pengetahuan agama dan kearifan yang dalam dan hikmat kebijaksanaan di dalam diri mereka, dan tidak berpikir negatif atau bertendensi / berniat buruk, seharusnya mereka dapat mengerti. Sunan Kalijaga, sekalipun adalah yang paling muda di antara para Wali dan adalah juga murid mereka, tetapi memiliki kebijaksanaan dan pengertian kebatinan yang dalam dan dapat mengerti kebenaran ajaran Syech Siti Jenar. Ia juga diam-diam belajar kepadanya dan mengikuti cara-cara yang digunakan oleh Syech Siti Jenar dalam menyebarkan agama Islam, cara-cara yang sederhana tapi merakyat, tidak seperti para Wali lainnya yang melakukannya dengan jalan kekuasaan. Tetapi setiap kali ia datang ke padepokan Syech Siti Jenar, ia selalu dibuntuti oleh Sunan yang lain, karena para Wali khawatir Sunan Kalijaga akan dapat dipengaruhi dan berpihak kepada Syech Siti Jenar.
Sebenarnya kekhawatiran para Wali bukanlah hanya sebatas masalah pribadi ataupun pengaruh ajaran Syech Siti Jenar dan perkembangannya yang pesat, tetapi karena banyak murid dan pengikut Syech Siti Jenar itu merupakan keturunan / trah kerajaan Majapahit yang juga mempunyai hak atas tahta yang sama seperti Raden Patah sang raja Demak. Para murid dan pengikut Syech Siti Jenar itu banyak yang menjadi penguasa wilayah kadipaten dan kabupaten dan tidak berada di bawah kekuasaan kerajaan Demak. Mereka berkesaktian tinggi dan memiliki banyak prajurit, yang dapat menjadi bahaya bagi kerajaan Demak di kemudian hari. Syech Siti Jenar dapat menjadi masalah besar bagi kerajaan Demak dikemudian hari, tetapi untuk menyerang Syech Siti Jenar secara langsung adalah sangat tidak mungkin. Kegaiban Syech Siti Jenar terlalu tinggi. Seandainya pun para Wali bersama-sama datang menyerang Syech Siti Jenar, jangankan untuk menangkap, menyentuhnya pun tidak dapat. Satu-satunya jalan hanyalah dengan menjatuhkannya secara agama dan mendatangkan bantuan dari kerajaan Demak. Begitu juga dengan para pengikut Syech Siti Jenar. Banyak di antara mereka adalah adipati atau bupati, kepala kadipaten / kabupaten yang berkesaktian sangat tinggi dan juga memiliki banyak tentara didikan kerajaan Majapahit.
Kadipaten Pengging saja mampu dengan mudah melenyapkan kerajaan Demak, jika mereka menghendaki, sedangkan di bekas-bekas wilayah Majapahit yang lain ada banyak kadipaten yang setingkat dengan Pengging. Walaupun Demak didukung oleh para Wali sekalipun, dengan mudah mereka dapat melenyapkan kerajaan Demak, jika mereka menghendaki. Mereka sudah berpengalaman malang-melintang dalam peperangan mengamankan berbagai daerah di dalam wilayah kekuasaan Majapahit, sehingga kerajaan kecil dan baru seperti Demak bukanlah ancaman besar bagi mereka. Kerajaan Demak dan tentaranya beserta para Wali di dalamnya tidak akan pernah mampu menundukkan mereka, apalagi menundukkan seluruh penguasa di bekas wilayah Majapahit. Tak ada harapan bagi Demak untuk menang, jika dilakukan dengan peperangan. Sekalipun para Wali terkenal dengan ilmu gaibnya, tetapi kesaktian ilmu gaib para Wali masih jauh di bawah kesaktian mereka dan tidak akan pernah mampu menandingi kesaktian mereka.
Di mata mereka, kesaktian gaib para Wali itu hanyalah permainan anak-anak dan hanya cocok untuk atraksi hiburan bagi rakyat jelata. Walaupun sebenarnya di mata mereka kerajaan Demak tidak mempunyai dasar legitimasi yang kuat, karena Prabu Brawijaya melepaskan kekuasaan pemerintahan kepada Raden Patah setelah beliau lengser dari keprabuannya, bukan pada saat masih memegang jabatan raja, dan mereka pun masih keturunan raja-raja Majapahit yang mempunyai hak yang sama atas tahta seperti Raden Patah, tetapi demi menghormati junjungan mereka Prabu Brawijaya yang telah melepaskan kekuasaan kerajaan, mereka tidak menyerang Demak. Tetapi mereka tidak mau tunduk dan menyerahkan janji setia kepada Demak, apalagi tunduk di bawah bayang-bayang kekuasaan para Wali. Mereka memilih kembali ke daerahnya masing-masing menjadi pemimpin kadipaten, kabupaten, kademangan, dsb, dengan membawa serta para prajurit pengikut setia mereka masing-masing. Maka ketika di dalam suatu persidangan dakwaan para Wali tidak dapat menjerat Syech Siti Jenar, para Wali memutuskan akan membawanya ke persidangan lanjutan di hadapan Sultan Demak sebagai hakim tertinggi. Tetapi Syech Siti Jenar menolak dan berkata: "Aku telah mengajarkan apa yang aku anggap benar dan kamu juga tidak dapat menemukan kesalahan di dalam ajaran-ajaranku. Tetapi jika aku menjadi batu sandungan ...... , biarlah aku menghilang dari kehidupan manusia". Setelah berkata demikian, Syech Siti Jenar bersemadi sesaat, kemudian hilanglah Syech Siti Jenar dari hadapan mereka, moksa, menghilang masuk ke alam gaib bersama dengan raganya.
Bersamaan dengan hilangnya tubuh Syech Siti Jenar, terciumlah bau harum wangi semerbak hingga tercium baunya sampai keluar halaman mesjid. Setelah moksanya Syech Siti Jenar, dengan memimpin sejumlah besar prajurit Demak, para Wali dan Sunan Kudus sebagai panglimanya yang selalu mengikutkan laskar santri sebagai ujung tombak pasukannya memburu dan mendatangi pengikut-pengikut Syech Siti Jenar untuk ditawan dan dibawa ke Demak. Para Wali dan para prajuritnya harus sangat berhati-hati, karena para pengikut Syech Siti Jenar itu banyak yang memiliki kesaktian tinggi, ilmu kesaktian jaman Majapahit, yang bersama dengan para pengawal dan pengikutnya mampu menjungkir-balikkan para Wali dan tentaranya, sehingga para Wali dengan cerdik menggunakan strategi bukan akan menangkap mereka dengan alasan pemberontakan atau pun alasan politik lainnya yang mungkin akan menimbulkan perlawanan dan peperangan, tetapi akan membawa mereka untuk diadili di Demak, sehubungan kesesatan ajaran agama dari Syech Siti Jenar yang mereka anut.
Tetapi Ki Ageng Pengging (Ki Kebo Kenanga) dan banyak tokoh-tokoh lain pengikut Syech Siti Jenar menolak untuk ditawan dan lebih memilih mati, karena mereka yakin pada kebenaran kepercayaan mereka. Mereka mengambil jalan kematian dengan cara memutus nyawa mereka setelah bersemadi sesaat (megat-ruh). Namun sesudah kematian mereka itu, para prajurit Demak kemudian memenggal kepala mereka dan juga membantai habis keluarga mereka sampai kepada anak-anak dan bayi, termasuk juga membantai para prajurit pengikut mereka dan keluarganya dan para penduduk di sekitarnya yang mengabdi kepada mereka. Dengan demikian mereka telah mentuntaskan "persaingan agama" dan telah menumpas habis benih-benih kerajaan Majapahit yang dapat menjadi bahaya bagi Demak dikemudian hari. Para Wali dan prajurit Demak kemudian juga menduduki istana Majapahit yang telah ditinggalkan oleh Prabu Brawijaya. Berbagai macam benda pusaka kerajaan Majapahit diboyong ke Demak, termasuk sepasang keris Nagasasra dan Sabuk Inten yang menjadi lambang kebesaran kerajaan Majapahit, tetapi naskah-naskah sastra dan keagamaan lama dimusnahkan dan tempat-tempat ibadah di lingkungan istana dihancurkan.
Dalam perjalanan kembali ke Demak pun banyak situs-situs keagamaan yang dirusak. Dalam penaklukkan-penaklukkan berikutnya oleh pasukan Demak dan laskar santrinya terhadap bekas-bekas wilayah kerajaan Majapahit, kadipaten dan kabupaten dan wilayah-wilayah yang menerima pengaruh ajaran Syech Siti Jenar selalu disertai dengan pembunuhan besar-besaran sampai kepada anak-anak dan bayi, sehingga terjadi pengungsian besar-besaran rakyat yang berusaha menyelamatkan diri. Sebagian besar rakyat mengungsi ke pelosok-pelosok, ke hutan dan ke gunung-gunung. Sebagian orang kaya dan keluarga bangsawan mengungsi sampai ke pulau Bali. Ribu-ribuan nyawa telah melayang menjadi tumbal ambisi kekuasaan mereka, menjadi kepiluan tanah jawa atas pembunuhan-pembunuhan oleh generasi mudanya yang sudah hilang jawanya, menjadikan bulan Sura sebagai bulan perkabungan mereka.