Sepulangnya Adipati Adiwijaya dari pertemuan dengan Arya Penangsang yang
diprakarsai oleh Sunan Kudus dan Sunan Bonang, yang tidak menghasilkan
perdamaian di antara mereka, Adipati Adiwijaya mampir ke Gunung (bukit)
Danaraja, tempat Ratu Kalinyamat, kakak iparnya, bertapa telanjang dan
tidak akan berpakaian sebelum Arya Penangsang mati.
Ratu Kalinyamat sakit hati terhadap Sunan Kudus, yang telah menjadi
Hakim Agung di Demak, sehubungan dengan pembunuhan kakaknya, Sunan
Prawata yang menjadi Sultan Demak, oleh Arya Penangsang, dan Sunan Kudus
memihak kepada Arya Penangsang dan tidak memberikan keadilan kepadanya
seperti yang dimintanya. Bahkan sekarang pun suaminya sendiri juga telah
dibunuh oleh Arya Penangsang. Untunglah ia sendiri berhasil lolos dari
usaha pembunuhan itu.
Ratu Kalinyamat mendesak Adipati Adiwijaya agar segera membunuh Arya
Penangsang dan ia akan menyerahkan semua haknya atas tahta kepadanya
jika Jaka Tingkir berhasil membalaskan dendamnya. Karena menghormati
kakak iparnya itu, dan didorong rasa keadilan atas pembunuhan-pembunuhan
yang dilakukan oleh Arya Penangsang, maka Adipati Adiwijaya memutuskan
untuk segera mengakhiri sepak terjang Arya Penangsang.
Ia sendiri juga pasti sudah mati menjadi korbannya, jika ilmu lembu
sekilannya tidak mampu melindunginya.
Jaka Tingkir adalah seorang yang sangat ksatria. Karena sikap ksatrianya
itu ia tidak mau turun tangan langsung untuk "menangani" Arya
Penangsang. Sekalipun Arya Penangsang memiliki kesaktian yang sangat
tinggi dan kebal senjata tajam, karena mengantongi jimat mustika wesi
kuning, tetapi kesaktian Arya Penangsang itu masih terlalu rendah
baginya. Adipati Adiwijaya dapat mengukur tingkat kesaktian Arya
Penangsang yang masih jauh di bawahnya. Walaupun ia sendiri menyimpan
dendam pribadi kepada semua orang Demak dan kepada para Wali, sehubungan
dengan pembunuhan-pembunuhan terhadap orang tua dan saudara-saudaranya,
tetapi ia memilih untuk tidak memperdalam permusuhan. Itu juga alasan
Adipati Adiwijaya untuk tetap berdiam di Pajang.
Adipati Adiwijaya memanggil para penasehat setianya Ki Pamanahan dan Ki
Panjawi untuk meminta pertimbangan mereka.
Karena Ki Pamanahan dan Ki Panjawi menyanggupi titah junjungannya itu,
Adipati Adiwijaya menyerahkan kepada mereka tugas untuk membinasakan
Raden Arya Penangsang disertai bekal pusaka tombak Kyai Plered untuk
memunahkan kesaktian Arya Penangsang.
Ki Pamanahan adalah seorang yang memiliki pengertian yang dalam mengenai
dunia spiritual. Bersama Ki Panjawi akhirnya ditentukanlah hari dan
tempat yang baik untuk mengalahkan Raden Arya Penangsang. Dan sebagai
lawan tarung Raden Arya Penangsang ditunjuklah anak tirinya sendiri yang
saat itu masih muda remaja, yaitu Danang Sutawijaya.
Pada hari dan tempat yang sudah ditentukan datanglah Raden Arya
Penangsang memenuhi tantangan bertarung. Tetapi ternyata yang ditemuinya
di seberang Bengawan adalah seorang anak muda Danang Sutawijaya,
bukannya Adipati Adiwijaya seperti yang tertulis dalam surat tantangan.
Rasa marahnya naik sampai ke ubun-ubun, sadar dirinya telah dikerjai.
Apalagi ia dihadapkan kepada seorang anak muda kemaren sore yang belum
cukup umur untuk berhadapan dengannya.
Kuda anak itu pun seekor kuda betina penarik gerobak, bukan kuda perang.
Benar-benar sebuah penghinaan yang luar biasa.
Keduanya saling berhadapan berseberangan sungai dan sama-sama memegang
tombak sakti yang diberi gagang pendek untuk pertempuran jarak dekat.
Sambil mengangkat tombak Kyai Plered pemberian Adipati Adiwijaya, Danang
Sutawijaya menantang perang. Katanya: " Kamu tidak layak berhadapan
dengan tuanku. Hadapilah aku dulu. Langkahi dulu mayatku ! ".
Arya Penangsang adalah seorang yang berangasan dan mudah marah.
Menghadapi tantangan itu dan penghinaan karena ia dihadapkan kepada
seorang anak muda kemaren sore, segera dengan amarah yang meluap-luap
diseberanginya Bengawan yang sedang surut airnya karena musim kemarau.
Sepanjang jalan kudanya bergerak liar dan meringkik-ringkik tak karuan
karena bagian sungai yang diseberanginya adalah tempat yang angker.
Arya Penangsang tidak peduli. Sambil menghunus tombaknya, terus
dipacunya kudanya ke tempat Sutawijaya berada.
Sesampai di seberang Bengawan kudanya semakin meringkik-ringkik dan
melonjak-lonjak liar tak terkendali. Ia berusaha keras untuk tidak jatuh
dari kudanya. Kesempatan itu dimanfaatkan Sutawijaya untuk menyerang.
Tombaknya berhasil menusuk dalam ke bagian perut Arya Penangsang. Darah
merah deras mengalir keluar. Ternyata kekebalan tubuh Arya Penangsang
masih kalah oleh tombak Kyai Plered ! Arya Penangsang melenguh
kesakitan dan terguling jatuh dari kudanya.
Perhitungan Adipati Adiwijaya tepat ! Ia bisa mengukur kesaktian Arya
Penangsang. Tidak perlu keris andalannya Kyai Sengkelat, tombak Kyai
Plered miliknya pun ternyata cukup mumpuni untuk mengalahkan kekebalan
wesi kuning Arya Penangsang !
Sekalipun ilmunya masih kalah jauh, dan kesaktian tombak Kyai Plered
juga masih kalah dibanding keris Kyai Setan Kober milik Arya Penangsang,
tetapi Sutawijaya pantang mundur dan mantap melawan. Darah mudanya
menggelora.
Kepercayaan dirinya tinggi, yakin pada dukungan orang-orang linuwih di
belakangnya, ditambah lagi ia juga telah berhasil melukai Arya
Penangsang yang terkenal tak mempan senjata tajam.
Walaupun gerakannya agak lambat karena menahan sakit di perutnya, Arya
Penangsang terus menyerang Sutawijaya yang juga sudah turun dari
kudanya. Bahkan karena terus bergerak dan mengempos tenaga, menusuk,
melompat, menendang, luka tusuk di perut Arya Penangsang semakin parah.
Darah merah mengalir membanjir dan membasahi bajunya, bahkan ususnya pun
keluar dari lubang di perutnya, menjulur dan menggantung keluar,
sehingga terpaksa dikalungkannya ke gagang kerisnya yang dipindahkannya
ke pinggang kiri depan.
Sadar bahwa dirinya mungkin tidak akan selamat karena luka parah di
perutnya dan racun warangan dari tombak Sutawijaya, walaupun sakit
sekali perutnya dan tenaganya semakin melemah, sadar jangan sampai
dirinya yang lebih dulu mati, Arya Penangsang mengamuk menyerang
Sutawijaya habis-habisan.
Pada satu kesempatan diangkatnya tombaknya tinggi-tinggi dan
diayunkannya sepenuh tenaga ke arah kepala Sutawijaya.
Sutawijaya tak dapat menghindar dan terpaksa menahan ayunan tombak itu
sepenuh tenaga dengan gagang tombaknya dengan kedua tangannya. Tetapi
sekalipun sudah lemah, kekuatan Arya Penangsang masih luar biasa untuk
ukuran Sutawijaya sampai Sutawijaya jatuh terjengkang menahan ayunan
tombak Arya Penangsang, walaupun karena hebatnya benturan itu tombak
Arya Penangsang juga terpental jauh.
Arya Penangsang meneruskan serangannya dengan menubruk Sutawijaya yang
terjengkang terlentang di tanah. Dengan lutut kaki kirinya ia mengunci
tangan kanan Sutawijaya yang memegang tombak, lutut kanannya menekan
perut Sutawijaya, dan tangan kirinya menekan leher Sutawijaya.
Sutawijaya tak berdaya !
Untuk mengakhiri serangannya, dihunusnya kerisnya untuk dihujamkan ke
dada Sutawijaya. Tetapi seketika itu juga Arya Penangsang menjerit
lirih. Cabutan keris Arya Penangsang telah memutuskan ususnya sendiri
yang dikalungkannya di gagang kerisnya dan racun kerisnya pun ikut
meracuninya. Arya Penangsang tewas seketika itu juga !
Setelah keberhasilan membunuh Arya Penangsang, Sutawijaya, Ki Pamanahan
dan Ki Panjawi menghadap kepada Adipati Adiwijaya. Sutawijaya
menyerahkan keris Setan Kober sebagai bukti kemenangannya, dan
mengembalikan tombak Kyai Plered pemberian Adipati Adiwijaya, tetapi
jimat Arya Penangsang berupa mustika wesi kuning disimpannya untuk
dirinya sendiri. Tetapi kemudian Adipati Adiwijaya memberikan kembali
tombak Kyai Plered kepada Sutawijaya sebagai hadiah dan juga sebagai
pengakuan atas kegagahan dan kejayaannya dan Sutawijaya diakuinya
sebagai anaknya, diberi hak dan perlakuan sama seperti anak kandungnya
sendiri.
Kepada Ki Pamanahan dan Ki Panjawi diberikan tanah-tanah perdikan,
diberi hak menjadi penguasa-penguasa daerah di bawah pemerintahan
Pajang.
Beberapa minggu kemudian, upacara besar dilaksanakan. Disaksikan oleh
para pembesar kerajaan Demak Bintara dan penguasa-penguasa di bekas
wilayah kerajaan Majapahit yang mendukung Adipati Adiwijaya, Ratu
Kalinyamat menyerahkan tahta Demak Bintara kepada adik iparnya, Adipati
Adiwijaya. Dan semua pusaka kerajaan Demak diserahkan kepada Adipati
Adiwijaya, kecuali sepasang keris Nagasasra dan Sabuk Inten yang telah
hilang, moksa, menghilang ke alam gaib bersama fisik kerisnya, karena
tidak mau disatukan dengan keris Kyai Sengkelat di tangan Adipati
Adiwijaya.
Adipati Adiwijaya dikukuhkan sebagai seorang raja. Sekalipun Adiwijaya
tidak beragama Islam, masih memegang kepercayaan lama kejawen, tetapi
karena mengikuti tradisi saat itu ia mengambil gelar Sultan. Kangjeng
Adipati Adiwijaya sekarang menjadi Kangjeng Sultan Adiwijaya. Tetapi
ia memilih tetap berkedudukan di Pajang, tidak di Demak.
Jaka Tingkir sekarang telah resmi memegang tampuk pemerintahan raja
tanah Jawa. Kata-kata Sunan Kalijaga dulu, yang juga hadir dalam
perayaan penobatan tersebut, telah menjadi kenyataan. Mas Karebet atau
Jaka Tingkir, walaupun jalannya berliku-liku, telah memenuhi takdirnya
sebagai penerima wahyu raja, menjadi raja Tanah Jawa.